Kamis, 19 Desember 2013

So, I can Move On.




Dilema.


Gue benci dengan perasaan kampret ini. Antara mau maju terus apa tahu diri. Gue benci pilihan. Gue sempet berfikir untuk masa bodoh, tapi semakin gue berusaha mem-masa-bodoh-kan diri gue, gue semakin memikirkan. Rasanya kalo kepala ini bisa di bongkar pasang, gue langsung bongkar. Raga dan hati gue sedang tak bersatu; di satu sisi raga gue pengin tetep maju, di satu sisi hati gue memikirkan hal terburuk.


Gue selalu memutar lagu keras, gue selalu berkumpul dengan teman-teman gue, gue selalu menyibukan diri gue, untuk ngelupain dia, tapi hasilnya nihil. Setelah semua hal itu gue lakuin, dan ketika gue sendiri, gue langsung kepikiran dia.

Alasan, paling sulit gue untuk Move On adalah: Kita satu sekolahan.

Semua ini, mungkin juga salah gue, gue setengah-setengah dalam ngedeketin dia. Ketika gue minta pendapat ke temen gue, mereka pasti jawab “Udah, tembak aja. Daripada lo malah kepikiran gak pasti, gini.. Toh kalo di tolak juga gak masalah, semua udah beres kan?” setelah banyak saran yang gue dapet, gue dan diri gue menyimpulkan: Yaudah. Maju.



Masih di tempat biasa.

Di tempat dimana gue sering menghabiskan waktu, entah sendiri atau sama temen-temen. Peacock Coffee. Pahit. Sengaja mempahitkan kopinya, tanpa menambah gula.

“aku adalah kopi dan kau adalah gulanya, kau tau bagaimana rasanya hidupku tanpa kamu?”



Hari ini adalah hari ke 18 gue sama sekali ngehubungin dia, dan handphone gue tanpa pesan dari dia, sama sekali. Waktu itu juga gue sengaja semingguan gak ngebuka Twitter, account Twitter gue, gue log out di hape biar gak ada pemberitahuan, dan kalo buka laptop cuma nge-Blog. Lagi males aja, stalking.

Tepat seminggu gue gak buka Twitter sama sekali, gue iseng-iseng buka lagi, dari iPad temen gue. Lagi asyik mantengin mention yg masuk, gue ngelirik sedikit ke atas, ternyata ada Direct messages. Gue buka deh.

Ternyata dari si Lara.

Ada 8 pesan masuk dari dia. Yang intinya, dia minta maaf atas kejadian yang gue ceritain disini Tempat Reparasi yang GagalKarena gue masih rada gonduk waktu itu, gue biarin deh DM dari dia.

Gue cuma membaca tanpa ada niatan membalas.

“maaf. ya mungkin engga gentle bilang minta maaf di DM. maaf buat kemaren,” sepenggal maaf dari dia, yang sebenernya masih panjang. Waktu itu, gue masih menganggap maaf itu hanya maaf biasa, kayak maaf kalo dia ninggal gue tidur duluan, gituh.


“Bro, kemarin dia minta maaf ke gue kayak gini, bales apa biarin?” kata gue, ke temen yang biasa gue curhatin, sambil meliatkan DM dari dia.

“Bentar,” kata temen gue, sambil ngebaca DM dari dia.

“Gimana?” celetuk gue.

“Gile.. baleslah, dia kayaknya minta maaf-nya tulus, sepanjang ini lagi. Dia kayaknya ngerasa bersalah, bales buruan,” ucap temen gue.

“Yaudah, gue bales nanti malem ajalah, jam segini dia jarang buka Twitter”.


Malem ini, niatnya gue mau bales DM dari dia, tapi.. Gue kembali berfikir, DM-nya udah lama, kalo gue bales, juga gak guna (mungkin). Kesalahan dari hidup gue selama ini adalah: Gue selalu memikirkan hal Negative-nya dulu. Kapan gue bisa maju kalo gini terus.


Pesan itu bener-bener gue abaikan.


Sampai gue menulis semua ini, gue udah gak pernah sapa-sapaan sama dia, entah secara langsung atau lewat handphone. Tapi yang gue tahu, dia tambah akrab banget sama mantannya, entah udah balikan atau belum, gue gak tau, gue mulai bisa menerima kenyataan. Semua yang memang harusnya milik kita pasti akan kita genggam kembali, dan yang harusnya terlepas, sekuat apapun digenggam pasti akan lepas. Hati kecil gue, masih pengin deket sama dia. Kemarin gue sempet nge-Line tapi gak di read, ternyata setau gue, hape dia lagi rusak. Sebenarnya, gue pengin ngehubungin dia lewat sms, tapi, lagi, gue selalu berfikir negative dulu; “Yah, mungkin dia lagi asyik sama mantannya (ntah sms-an, telfonan), mungkin gue juga gak perlu juga”

Dan, gak jadi.


Gue masih berfikir, kalo dia ngebutuhin gue, dia pasti ngehubungin gue, dan sebaliknya. Gue selalu terbuka untuk dia. Dia udah banyak ngerubah hidup gue, ke arah yang baik, walaupun baru kenal sebentar. Jari gue masih siap membalas pesan dari dia. Selama gue masih bersuara gue masih siap menerima telfon atau ngobrol langsung sama dia. Selama gue masih membuka mata disini (di tempat ini) gue masih siap membuat dia tersenyum, ketika dia bersedih, sedih karena mantan terindah dia itupun, gue masih siap menjadi pendengar dan Mario Teguh dadakan buat dia. Walau dia gak di samping gue, gue selalu memastikan dia bahagia, gue sering curi-curi pandang ke kelas dia, dari jendela kelas gue, ngamatin apa yang sedang dia lakukan. Terkadang, ada yang janggal di hati juga sih.. Ketika ngeliat dia tersenyum, dan senyum itu bukan berasal dari gue.


Kopi gue mulai dingin nih. Gak sadar juga, ternyata dia (Lara) udah banyak gue tulis di Blog, mulai Cinta Dalam Diam terus I'm not an option, I'm a priority lalu Tempat Reparasi yang Gagal dan ini.

Kemarin gue membaca sepenggal tulisan dari salah satu penulis favorit gue Darwis Tere Liye:


“Jika dua orang memang benar2 saling menyukai satu sama lain. Itu bukan berarti mereka harus bersama saat ini juga. Tunggulah di waktu yang tepat, saat semua memang sudah siap, maka kebersamaan itu bisa jadi ‘hadiah’ yg hebat utk orang2 yg bersabar.

Sementara kalau waktunya belum tiba, sibukkanlah diri utk terus menjadi lebih baik, bukan dengan melanggar banyak larangan. Waktu dan jarak akan menyingkap rahasia besarnya, apakah rasa suka itu semakin besar, atau semakin memudar.”


Tulisan itu sedikit men-doktrin pikiran gue yang awalnya “Yaudahlah.. biar dia sama mantannya,” menjadi “Yaudahlah.. Biar waktu yang menjawab".



Mungkin, ini adalah tulisan terakhir tentang dia.






Hai, Lara. Say hello to Everyone!




For the last time...


Rabu, 11 Desember 2013

Hujan di Bulan Desember

aku. hujan. dan rindu.
semua menuju satu tujuan, kamu.


Waktu itu sengaja ngeputer lagu Afgan – Jodoh Pasti Bertemu.

 ♫ Jika aku bukan jalanmu Ku berhenti mengharapkanmu Jika aku memang tercipta untukmu Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu ♫


Terkadang, lagu yang kita dengar adalah kesimpulan hati kita yang gak bisa kita ucapkan. Yoih, lagu Afgan yang ini, emang  true story of my life.. or story of many people? Maybe :D


Tiba-tiba playlist memutar lagu Efek Rumah Kaca yang Desember. Yup, This is the best song for this month.

♫ Aku selalu suka sehabis hujan dibulan desember, Di bulan desember..
Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka meretas luka sampai hujan memulihkan luka ♫



Sebuah Cappucino tersaji di cangkir yang masih panas, dari balkon rumah, suara hujan begitu deras terdengar.





Senyum manismu dulu, masih lekat di pikiran. Tapi, hidupku terus berjalan, aku harus menemukan hal baru, yang bernama kebahagiaan.


Walau tanpa dirimu..


Tepat 2 tahun yang lalu kita masih saling bercengkrama, memadu tawa bersama, membagi rasa cemburu, melawan kesusahan dengan kebersamaan. Itulah kita dulu.


Masih ingatkah kau denganku?

Aku harap masih.

“Yaps! Orang dalam kenangan itu boleh pergi, namun kenangan yang ditinggalkan tak akan pernah pergi.”


Beberapa orang hanya berniat untuk mengenang, bukan untuk mengulang. Dan akulah salah satunya.


Aku rindu ketika kamu dulu bilang, “Kamu liat bintang malem ini nggak?”

Dan aku segera menjawab, “Iya, ini lagi di balkon rumah, bulan sabit-nya lucu tuh.”

“Walaupun kita jauh, tapi ketika kita melihat bintang yang sama, rasanya kita jadi dekat. Pengin deh rasanya, ngeliat lautan bintang,”

“Tuhan memang maha Romantis, ya. someday, look with me :)”

promise?”

“Yes. I will..”



“Hujan air di luar. Hujan rindu di hati.”




Tau nggak? Setelah kita dua tahun tak lagi bersama. Aku belum menemukan penggantimu. Menemukan cinta baru sih, udah. Tapi, aku salah mencintai seseorang, dia masih mencintai kenangan, sedangkan aku mencari masa depan. Ngenes kan?


Kalo kamu gimana?

Aku harap kisahmu tak seperti aku.


Kamu pasti lebih dewasa daripada dulu. Dulu kamu sering cemburu karena hal yang seharusnya gak dicemburuin, manja banget kalo dibangunin pagi-pagi, ngambek kalo nggak dikabarin.

Tapi aku suka itu.



Tenang, aku hanya menciptakan kenangan yang dibantu hujan, aku tidak berfikir untuk kembali di kehidupanmu. Aku bukan tipe orang yang suka balik sama mantan.  Anggep aja mantan itu adalah “alumni”, ga bakal balik lagi, dan udah dapatkan pelajaran.


Karena hujan membawaku kemanapun dalam alam fantasiku. Termasuk membawaku ke masa lalu.




Aku hanya ingin melihat orang yang pernah mengisi hari-hari ku dulu, bahagia. Walaupun sudah tidak ada lagi kata ‘kita’.


Hujan mulai reda. Aroma Petrichor mulai terhirup.

“Hujan, aku tak pernah tak suka aroma petrichor yang kau tinggalkan saat kau pergi”

Sapa ku terhadap hujan, sebelum mereka pergi. 

Langit malam itu mulai berbintang, 






Memang, terkadang hubungan tak se-awet hujan di bulan desember. 


Sabtu, 07 Desember 2013

Tempat Reparasi yang Gagal

Semakin hari gue semakin sadar, ada hal yang gak beres dari hubungan ini, hubungan yang entah hubungan apa ini;

deket, iya.

Saling memberi semangat, iya.

Bisa dibilang PDKT? Iya.

Deket banget? Enggak.

Respon dia baik? Iya.

Pacaran? Kagak.

Dia balik dengan masa lalunya? Iya. Sepertinya.

Gue kembali ke masa dilema orang jatuh cinta, dimana masa yang gak pernah gue rasain dua tahun terakhir ini, dan hal itu kembali lagi. Rasanya seneng, (cukup) bahagia, dan banyak hal gak wajar yang gue lakukan, namanya juga jatuh cinta; seseorang akan menjadi orang yang super aneh.

Dari jatuh cinta kali ini juga, gue kembali menemukan semangat hidup, dimana gue kembali menikmati masa sekolah gue dengan utuh, gue mulai semangat mengejar semua cita-cita gue, gue mulai semangat berangkat jam tambahan pagi sekolah, gue mulai semangat buat nggak cabut sekolah lagi, semua ini karena dia, dia selalu memberi semangat ke gue, entah itu semangat yang emang ‘tulus’, atau cuma pengin ngebuat gue seneng (sementara). Entah.

 Jatuh cinta membuat gue kehilangan akal logika.

Hari ini adalah hari ke delapan kita lost contact, tak ada kabar, tak ada ucapan selamat tidur, tak ada sebuah obrolan sama sekali. Terlalu lamanya gue merasakan jatuh cinta lagi, ngebuat gue buta akan cinta, ngebuat gue menjadi orang super canggung.. Tapi ada satu hal positif yang gue dapet.. Gue semakin paham mana itu cinta, mana itu Bullshit semata.. Yaps, selama gue mengurung hati gue untuk sendiri, gue selalu mengamati temen-temen gue yang sedang jatuh cinta.

Nah, kalo kali ini, Lo, ngalamin cinta apa Bullshit semata?

Gue belum paham, bahkan gak tau. Rasa cinta gue begitu besar, mengingat, gue orang yang sangat sulit jatuh cinta. Tapi gue adalah laki-laki. Gue harus tetap menggunakan logika.

Mungkin gue jatuh cinta, dihati yang belum siap menerima.



Kenapa bisa sampai delapan hari kita tanpa sebuah obrolan sama sekali? Gue menunggu dia untuk ngehubungi gue dulu, gue suka mencari tapi gue lebih suka dicari, Cowok juga tetap manusia. Kadang ada kalanya ingin dicari, bukan hanya mencari. Dan gue juga mengetes dia, seberapa penting sih.. Gue di hidup dia. Dan ternyata hasilnya, nihil. Tak ada satupun pesan yang masuk, dari dia.

Di delapan hari tanpa sebuah pesan-pesanan ini, gue stalking dia. Hasilnya.. dia masih sangat akrab sama mantannya, di dalam sebuah mention antara dia dan mantannya ini, ada sebuah percakapan bahwa mereka masih saling kirim pesan, bahkan nelfon, dikala kita saling lost contact.


 Gue mulai berfikir, apakah ini waktunya gue untuk mundur?


Sebelum menulis semua ini, jauh beberapa hari yang lalu, dia tengah malem sempat curhat sama gue, gue rela-relain buat begadang padahal udah capek banget. Kampretnya, dia curhat tentang mantannya, sebenarnya gue males buat nanggepinnya, tapi ya gimana lagi yah.. Gue peduli sama dia. Sebenarnya waktu itu juga waktu yang pas buat gue umtuk ngejatuhin mantannya di mata dia. Tapi.. ah buat apa.. ngejelekin orang lain untuk bisa terlihat baik. It’s not me.. Ngebagus-bagusin diri sendiri, ngejelekin-jelekin orang lain. Mau dibilang wow gak gitu caranya sih.. Cinta gak ngebikin orang jadi seorang pecundang.

Di dalam curhatannya itu, gue memotavasi dia “Mungkin kamu hanya kehilangan rasa selalu bersama, rasa saling peduli. Semua itu gak mungkin dilupain dari hidup, karena cuma geger otak yang bisa ngelupain kenangan. Let’s move! Kalo sedih karena cinta emang gak ada abisnya. Seenggaknya, kita harus mencari sebuah kebahagiaan baru (maksud gue, BAHAGIA SAMA GUE, woy! Kode gue gak nyampe.).”


Dan sialnya dia malah ngejawab “Cuman bisa membiasakan diri dengan waktu. Gak pernah anggep dia masa lalu. Dia masa sekarangku dan masa depanku. Paling enggak bersyukur pernah berbagi kenangan sama orang yang tepat.”

Beh. Kata yang gue garis bawahin itu. Men-skak-mat harapan gue.


Setelah semua kejadian ini gue lewati, gue ngopi di tempat biasa ngopi bersama kedua temen gue, gue disana curhat. Anjir, meye banget gue. Cinta emang kampret.




Curhatan gue waktu itu menggebu-gebu, temen gue juga nanggepinya antusias, karena gue tipe orang yang jarang curhat, setahun bisa diitung deh, gue curhat cuma berapa kali.

“Jadi gimana-gimana?” kata temen gue, sambil sedikit nyengir, karena nganggep lucu aja, tumben gue curhat.

“Gini nih, sial, sekalinya jatuh cinta lagi, kisah cinta gue rumit amet, mending gue homo deh,” kata gue, sambil becanda dulu. Gue lanjutin lagi deh curhat gue, “Sial, kemaren Lara malah curhat sama gue tentang mantannya, kampret gak sih? Mana curhatnya dilakuin jam 2 malem, sambil nangis lagi. Berarti kan, dia masih sayang banget sama mantannya.”

“Hm.. kampret juga sih. Tapi, coba deh lo pikir, dia masih bilang “Cuma bisa membiasakan diri dengan waktu,” kata temen gue, tumben serius. “Lo, harus bisa bikin dia senyaman mungkin sama, Elo. Bikin ketawa, bikin dia bahagia, bikin dia mempunyai ‘senyum’ yang berasal dari lo. Pasti suatu saat, Lo yang bakal jadi prioritas dalam hidupnya. Take your time, bruh..”


Gue berfikir sejenak.

“Tapi, selama gue berusaha ngebikin gue jadi prioritas dia, selama itu pula, gue bakal makan ati dong?” kata gue, seteleh berfikir.

“Kalo cinta mah, gunung kan ku daki, lautan kan ku sebrangi, kalo beneran cinta sih..,” jawab si kampret, sok-sokan jadi pujangga.


Baiklah. Gue harus jadi tempat reparasi dia.


“Aku bukan tempat berlabuh yang baik. Aku hanya tempat reparasi yg baik. Memperbaiki masa lalumu”


Gue membuang rasa gengsi gue, gue mau berusaha dulu sekuat tenaga, tapi namanya manusia tenaganya pasti bisa abis juga.


Baru kali ini, gue suka cewek sampe segitunya. Sebelumnya, pasti gue yang jadi prioritas walaupun gue cuek sekali, dulu.


Akhirnya, kita chat-chatan lagi. Gue dulu yang memulai. Gue memberi semangat untuk ngerjain UAS ke dia, karena besoknya emang UAS. Dan, seperti biasa, dia membalas dengan memberi semangat juga, entah semangat yang bener-bener semangat, atu semangat yang... Gue gak mau berfikir negative.

Hari kamis yang lalu gue ngajak dia buat berangkat bareng ke sekolah pada hari sabtu nanti, niatnya, mau sekalian gue ajak maen, dan dia iya-in.


Hari sabtu pun datang. Sesuai rencana gue ngejemput dia. Pagi itu, gak ada masalah, gue udah sedikit tidak canggung, karena udah lumayan tau dia lah. Di dalam perjalanan menuju sekolah, gue ngajak dia maen sehabis pulang sekolah, karena jam 9 kita udah pulang. Dan, dia gak mau. Gue gak maksa, mungkin masih dalam suasana ujian, dia gak mau maen. Dan gue masih inget, kita punya rencana mau jalan sehabis ujian, karena dia udah free. Yaudah deh.


Dua jam ujian berlalu begitu cepat. Karena soalnya juga gampang.


Gue kira dia bakal nungguin gue di depan ruang ujian gue, karena ruang ujian gue lebih deket dari parkiran, kita beda ruang ujian. Gue tunggu sampe bel pulang berbunyi dia juga gak nyamperin gue di ruangan gue, yaudah, karena dia juga gak ngirim pesan apapun ke gue, akhirnya gue ke parkiran langsung aja, palingan dia juga nunggu di parkiran.

Dan..

Gue kaget, kok helm dia udah gak ada di motor gue.

“Balik duluan?” gue ngirim pesan ke dia.

“Iya udah, tadi di tungguin lama sih, ini sama temenku. Tadi gak sempet ngabarin, soalnya hape kesingsal di dalem tas.”

Gue hanya bisa tersenyum sambil gelengin kepala. Alasan yang gak logis, buat orang yang bisa ngehargain orang lain. Gue gak dihargain sama sekali.

Hape gue geter lagi, “Sini nyusul ke Pisang Coklat, aku lagi sama temenku disini.”

Yang katanya tadi gak mau maen, sekarang malah maen.


Disini gue mulai sadar, kalo gue sama sekali gak dihargain. Yang di perjuangin malah, hahaha-in.

Gue bukan menyerah, tapi gue mencoba realistis.

“se-sayang apapun, kalo disia-siain terus, gak dihargain dan gak dianggep, bakalan capek juga.”



Berharap boleh. Ngarep jangan.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...