Alhamdulillah, gue dapat nulis lagi di Blog yang
penuh kenangan ini. by the way, gue
lagi cuti, dan dapet libur yang gak begitu lama ini. Rindu sekali rasanya
menulis. Sebisa mungkin, gue nulis Blog ketika masa liburan seperti ini, karena
gue yakin, ketika apa yang gue tulis akan menjadi sejarah hidup gue suatu saat
nanti, entah sejarah pahit, maupun manis.
Masa pendidikan, tinggal menyisakan 1,5 tahun lagi
untuk gue tempuh, ditempa mental dan fisik agar menjadi abdi Negara yang
tangguh. Cielah. Doakan gue, semoga tahun 2018 nanti bisa dilantik Presiden.
Aamiin.
Ehem. Oke, mulai kedalam cerita.
Ketika kesendirian
bukanlah bermakna kesepian, maka saat itulah kamu mengenali dan menerima
keutuhan dirimu sendiri; kemandirian yang menyenangkan.
Mungkin gue sedang mengalami masa-masa dimana diri
gue pengin mempunyai seorang pasangan, akan tetapi diri gue juga menahan gue
untuk memilih yang asal-asalan.
Gue sama sekali gak takut dengan kesendirian. Gue
menganggap kesendirian itu membuat gue mengenal diri gue lebih dalam, secara
lebih intim daripada sebelumnya.
Hidup di asrama dengan kegiatan yang mungkin tiada
hentinya, membuat gue sama sekali tidak pernah merasa kesepian. Bayangin, pukul
empat pagi gue mengawali aktivitas, dan baru berakhir ketika pukul sepuluh
malam. Belum lagi, hidup dengan banyak orang dalam satu asrama, yang setiap
saat dapat dijadikan teman bicara.
Gak jauh beda dengan masa SMA, gue tetep di bully
temen-temen gue karena jomblo udah setahun lebih, “Masak udah pake seragam
masih jomblo,” ucap temen-temen gue yang rata-rata udah mempunyai pasangan
semua. Yoi, dengan trend cewek-cewek
suka cowok yang “berseragam” bukan hal yang sulit bagi temen-temen gue mencari
pasangan. Bukannya sombong, tapi fakta.
Gue pernah baca kata-kata ini:
“Orang yang bisa menikmati kesendirian
adalah tipe orang yang kuat, orang-orang seperti ini nantinya akan sangat
menghargai sebuah hubungan, akan menjadi sosok yang sangat penyayang, kelak,
jika ia sudah menemukan tambatan hatinya dan melepas kesendiriannya.”
Yaps, orang yang jarang gonta-ganti pasangan adalah
orang yang mungkin selektif dalam memilih hubungan. Dan, ketika dia memiliki
pasangan, dia pasti akan mempertahankan hubungan itu dengan keadaan apapun.
Mencari pasangan bukan hanya sekedar untuk teman berbagi tawa, akan tetapi
teman dikala suka maupun duka. Maka dari itu, gue gak setuju kalo ada orang
yang bilang “semakin banyak mantan, semakin banyak pengalaman.” Menurut gue
malah kebalik. Orang semacam itu gak belajar dari pengalaman.
Dan, kemaren gue sempet deket dengan seorang cewek.
Kita deket kurang lebih dua bulanan. gue kenal dia karena dikenalin sama temen
SMP gue, cewek ini adalah temen kantornya temen gue. Yoi, cewek ini udah kerja.
Waktu itu gue juga sedang libur, dan walaupun pekerjaan dia menuntut dia untuk
siap siaga, tetapi pekerjaan dia tidak menuntut sebuah deadline untuk segera diselesaikan. Jadi, komunikasi kita tetep
bisa lancar. Hampir setiap hari kita video call, komunikasi kita berjalan
dengan sangat baik. Kita udah sama-sama nyambung. And then, gue janjian ketemuan sama dia. Jarak rumah kita lumayan
jauh, 3 jam, kita beda kota.
Setelah menemukan waktu yang pas, akhirnya gue
ketemu sama dia. Waktu itu dia baru selesai pulang kerja, kita janjian ketemuan
di Mall. Untuk pertama kali kita bertemu secara langsung. Karena, gue bosen
dengan suasana Mall, akhirnya gue ngajak dia untuk cari tempat ngobrol diluar.
Di sebuah café di Kota Magelang, kita bercengkrama, sedikit gerimis waktu itu,
gue masih inget gue mesen greentea latte
dan dia gak mesen apa-apa, efek sebelum keluar dari Mall, kita sempet beli
donat dan kopi karena bingung nentuin café mana yang akan dituju. Hampir dua
jam, kita bercengkrama ngobrol ngalor-ngidul. Lumayan nyambung waktu itu,
walaupun dihati gue gak begitu sreg
dengan cewek ini setelah bertemu langsung.
Hape dia berbunyi, tak lama ketika ada jeda pembicaraan
diantara kita. Ternyata telfon dari atasannya, dia dapet perintah untuk segera
ke kantor. Dia pamit sama gue untuk balik lagi ke kantor. Karena gue paham, gue
juga di didik untuk loyal terhadap atasan. Gue mempersilahkan dia untuk segera
pergi ke kantor. Pertemuan itu berakhir.
“maaf ya, kalo cuma bisa ketemu bentar,” kata dia,
sambil sedikit tersenyum ke gue, “oh ya, pake aja jaketku ini, rumahmu jauh
loh, dijalan dingin, udah malem juga.” Karena dia tau, jaket yang gue pake
tipis, dia menawarkan jaketnya untuk gue pinjem.
“gakpapa kok, selow. Oalah, iya deh,” gue nerima
tawaran dia. Karena emang rumah gue masih sangat jauh, dan waktu itu gue naik
motor. Gue belom bisa nyetir mobil, btw.
Gue masih cupu, nying.
Setelah pertemuan itu dia semakin intens dalam ngehubungin gue. Sedangkan
gue sendiri masih belum yakin dia adalah cewek yang pas buat gue. Singkat
cerita, waktu liburan gue sudah habis. Gue kembali ke lembah pendidikan. Gue
pamit ke dia, dan gue ngabarin dia gue bakal balik 4 bulan lagi, dan selama itu
pula gue bakal jarang pegang hape, karena kegiatan yang padat gak memungkinkan
gue buat megang hape. Di dalam kegiatan gue yang padat, dia masih sering
ngehubungin gue, dan sesekali gue juga masih membalasnya, walaupun tidak semua
pesan gue balas. Gue yakin dia paham, karena dia juga pernah merasakan apa yang
gue rasakan, di didik di lembah pendidikan, walaupun dalam waktu yang gak
selama gue. Yaps, dia adalah Polisi
Wanita.
Di dalam masa ini, gue semakin ngerasa gue gak cocok
sama dia. Pesan dia lama-kelamaan gue balas sekedarnya, bahkan kadang sama
sekali gak gue bales. Gue mau ngasih sinyal ke dia kalo kita emang gak cocok,
dan jangan intens lagi dalam
ngehubungin gue. Tetapi dia tetap ngehubungi gue.
Sampai akhirnya 4 bulan itu berlalu, gue kembali
dapat cuti. Gue sempet bilang ke dia kalo gue cuti di pertengahan bulan
desember, tetapi gue gak ngasih tahu dia kapan tepatnya. Hari cuti yang gue
tunggu-tunggu datang, gue sudah memesan tiket pesawat jauh-jauh hari. Bandara
Pontianak sampai Semarang memerlukan waktu empat jam, karena transit dulu di Jakarta.
Pukul tujuh malam tepat gue sampai Semarang, gue segera mencari keluarga gue di
bandara. Papa dan adik gue, berdiri bersama penunggu penumpang lain, gue
bingung kemana mama gue, gue tanya ke adik gue, “Mama, kemana?” adik gue ngejawab,
“duduk di kursi tunggu.” Gak biasanya mama seperti ini. Mama biasanya nunggu
gue di bandara sambil berdiri. Mama orang paling exited ketika anaknya pulang. Dan hal yang gak gue duga terjadi,
ternyata dia lagi sama Mama. Gue cukup kaget waktu itu. Gue tipe orang yang gak
akan ngenalin cewek ke orang tua, kalo gue emang belum sreg sama cewek itu. Bukan surprise
yang gue dapat, malah gue rada gimana sama dia. Aneh aja, nekat banget dia
nunggu gue di bandara ngobrol lagi sama orang tua gue, padahal kita belum ada
hubungan apa-apa.
Ternyata dia tahu, kalo gue pulang dari adik gue,
dia nyari Line dan ngehubungi adik
gue tanpa sepengetahuan gue. Waktu ngobrol sama mama gue juga, dia cerita kalo
dia masih sering chatting sama gue,
padahal udah jarang sekali. Gue udah sama sekali gak ada feel buat dia. Gue yakin dia bukan orang yang cocok buat gue. Dan
setelah kejadian itu sama sekali gue gak ngebales chat dari dia. Gue memutuskan untuk kembali mengalir dalam urusan
asmara. Cielah.
Gak kerasa sekarang gue udah semester 6. Perasaan,
baru kemaren gue lepas dari seragam SMA. Gak ada lagi kamus galau tentang cinta
di hidup gue, gue membiarkan hidup gue mengalir menemukan jalannya, dengan
memperbaiki diri gue dari hari ke hari. Karena gue yakin, semakin baik derajat
gue, semakin baik juga jodoh yang akan gue temukan.
Gue ngerasa, secara alami, diri gue lebih selektif
dalam memilih pasangan. Gue gak mau asal dalam memilih pasangan. Karena bagi
gue sekarang, pasangan udah bukan lagi sekedar lagi teman berbagi canda tawa. Gue
udah beberapa kali deket sama cewek, akan tetapi gue akhirnya enggan untuk
melanjutkannya ke jenjang selanjutnya. Karena gue merasa gak akan cocok ke depannya.
Di usia 20 tahun ini, gue sadar bahwa cinta saja tidak
cukup untuk membuat sebuah hubungan berhasil. Ada banyak faktor lain yang ikut
andil. Seperti; pekerjaan, jarak, pola pikir, dan yang terpenting adalah restu
keluarga. Di usia ini harus lebih rasional dalam segala hal. Hubungan yang
serius bukan cuma tentang mencari persamaan, tapi lebih tentang menyatukan
perbedaan.
Gue harus sadar diri, gue sekolah dimana kelak ketika
gue lulus dan bekerja, gue akan disebar ke daerah seluruh Indonesia yang gak
bisa gue tentuin. Gue harus sadar diri juga, gue harus mencari pasangan yang gak
cuma sayang ke gue, tapi juga sayang ke keluarga gue. Gue harus sadar diri
juga, gue harus nyari pasangan yang kuat long
distance relationship, gue gak akan tahu, kapan gue dipindah tugaskan dari
satu tempat ke tempat lain.
Mencari pasangan untuk saat ini, gak se-simple dulu.
Cukup, dia bisa menemani gue dikala sepi, itu udah cukup. Dulu.
Untuk saat ini. Gue mencari sosok dia, yang
sama-sama berpandangan ke depan. Gak ada lagi itu kata, “yaudah, jalanin dulu
aja,” semua itu harus berganti “oke deh, semoga baik buat kita ke depan yah.”
Tetapi gue punya keinginan. Ketika gue wisuda dan
pelantikan nanti, gue udah punya pasangan. Hahaha.
Gue tahu, pendamping wisuda belum tentu jadi
pendamping hidup. Tetapi diri gue menyakini, cewek yang nanti mendampingi gue
wisuda, adalah dia yang menemani gue di masa depan. Ciyaaa.
Dan (dia) yang entah siapa, dapat merasakan
kebahagiaan yang gue rasakan. Dilantik Bapak Presiden.
Yup, karena wisuda gue masih pertengahan tahun 2018
nanti. Semoga gue dapat ditemukan dengan seseorang yang tepat di waktu yang
tepat. Asik.
“Jodoh punya caranya sendiri untuk menemukan kita pada akhirnya. Meskipun dengan cara yang tidak dapat kita duga.”