Sabtu, 31 Desember 2016

Cinta Di Usia 20 Tahun-an

Alhamdulillah, gue dapat nulis lagi di Blog yang penuh kenangan ini. by the way, gue lagi cuti, dan dapet libur yang gak begitu lama ini. Rindu sekali rasanya menulis. Sebisa mungkin, gue nulis Blog ketika masa liburan seperti ini, karena gue yakin, ketika apa yang gue tulis akan menjadi sejarah hidup gue suatu saat nanti, entah sejarah pahit, maupun manis. 

Masa pendidikan, tinggal menyisakan 1,5 tahun lagi untuk gue tempuh, ditempa mental dan fisik agar menjadi abdi Negara yang tangguh. Cielah. Doakan gue, semoga tahun 2018 nanti bisa dilantik Presiden. Aamiin.



Ehem. Oke, mulai kedalam cerita.




Ketika kesendirian bukanlah bermakna kesepian, maka saat itulah kamu mengenali dan menerima keutuhan dirimu sendiri; kemandirian yang menyenangkan.


Mungkin gue sedang mengalami masa-masa dimana diri gue pengin mempunyai seorang pasangan, akan tetapi diri gue juga menahan gue untuk memilih yang asal-asalan.

Gue sama sekali gak takut dengan kesendirian. Gue menganggap kesendirian itu membuat gue mengenal diri gue lebih dalam, secara lebih intim daripada sebelumnya.

Hidup di asrama dengan kegiatan yang mungkin tiada hentinya, membuat gue sama sekali tidak pernah merasa kesepian. Bayangin, pukul empat pagi gue mengawali aktivitas, dan baru berakhir ketika pukul sepuluh malam. Belum lagi, hidup dengan banyak orang dalam satu asrama, yang setiap saat dapat dijadikan teman bicara.


Gak jauh beda dengan masa SMA, gue tetep di bully temen-temen gue karena jomblo udah setahun lebih, “Masak udah pake seragam masih jomblo,” ucap temen-temen gue yang rata-rata udah mempunyai pasangan semua. Yoi, dengan trend cewek-cewek suka cowok yang “berseragam” bukan hal yang sulit bagi temen-temen gue mencari pasangan. Bukannya sombong, tapi fakta.


Gue pernah baca kata-kata ini:


“Orang yang bisa menikmati kesendirian adalah tipe orang yang kuat, orang-orang seperti ini nantinya akan sangat menghargai sebuah hubungan, akan menjadi sosok yang sangat penyayang, kelak, jika ia sudah menemukan tambatan hatinya dan melepas kesendiriannya.”


Yaps, orang yang jarang gonta-ganti pasangan adalah orang yang mungkin selektif dalam memilih hubungan. Dan, ketika dia memiliki pasangan, dia pasti akan mempertahankan hubungan itu dengan keadaan apapun. Mencari pasangan bukan hanya sekedar untuk teman berbagi tawa, akan tetapi teman dikala suka maupun duka. Maka dari itu, gue gak setuju kalo ada orang yang bilang “semakin banyak mantan, semakin banyak pengalaman.” Menurut gue malah kebalik. Orang semacam itu gak belajar dari pengalaman.



Dan, kemaren gue sempet deket dengan seorang cewek. Kita deket kurang lebih dua bulanan. gue kenal dia karena dikenalin sama temen SMP gue, cewek ini adalah temen kantornya temen gue. Yoi, cewek ini udah kerja. Waktu itu gue juga sedang libur, dan walaupun pekerjaan dia menuntut dia untuk siap siaga, tetapi pekerjaan dia tidak menuntut sebuah deadline untuk segera diselesaikan. Jadi, komunikasi kita tetep bisa lancar. Hampir setiap hari kita video call, komunikasi kita berjalan dengan sangat baik. Kita udah sama-sama nyambung. And then, gue janjian ketemuan sama dia. Jarak rumah kita lumayan jauh, 3 jam, kita beda kota. 

Setelah menemukan waktu yang pas, akhirnya gue ketemu sama dia. Waktu itu dia baru selesai pulang kerja, kita janjian ketemuan di Mall. Untuk pertama kali kita bertemu secara langsung. Karena, gue bosen dengan suasana Mall, akhirnya gue ngajak dia untuk cari tempat ngobrol diluar. Di sebuah café di Kota Magelang, kita bercengkrama, sedikit gerimis waktu itu, gue masih inget gue mesen greentea latte dan dia gak mesen apa-apa, efek sebelum keluar dari Mall, kita sempet beli donat dan kopi karena bingung nentuin café mana yang akan dituju. Hampir dua jam, kita bercengkrama ngobrol ngalor-ngidul. Lumayan nyambung waktu itu, walaupun dihati gue gak begitu sreg dengan cewek ini setelah bertemu langsung. 


Hape dia berbunyi, tak lama ketika ada jeda pembicaraan diantara kita. Ternyata telfon dari atasannya, dia dapet perintah untuk segera ke kantor. Dia pamit sama gue untuk balik lagi ke kantor. Karena gue paham, gue juga di didik untuk loyal terhadap atasan. Gue mempersilahkan dia untuk segera pergi ke kantor. Pertemuan itu berakhir.

“maaf ya, kalo cuma bisa ketemu bentar,” kata dia, sambil sedikit tersenyum ke gue, “oh ya, pake aja jaketku ini, rumahmu jauh loh, dijalan dingin, udah malem juga.” Karena dia tau, jaket yang gue pake tipis, dia menawarkan jaketnya untuk gue pinjem.


“gakpapa kok, selow. Oalah, iya deh,” gue nerima tawaran dia. Karena emang rumah gue masih sangat jauh, dan waktu itu gue naik motor. Gue belom bisa nyetir mobil, btw. Gue masih cupu, nying.



Setelah pertemuan itu dia semakin intens dalam ngehubungin gue. Sedangkan gue sendiri masih belum yakin dia adalah cewek yang pas buat gue. Singkat cerita, waktu liburan gue sudah habis. Gue kembali ke lembah pendidikan. Gue pamit ke dia, dan gue ngabarin dia gue bakal balik 4 bulan lagi, dan selama itu pula gue bakal jarang pegang hape, karena kegiatan yang padat gak memungkinkan gue buat megang hape. Di dalam kegiatan gue yang padat, dia masih sering ngehubungin gue, dan sesekali gue juga masih membalasnya, walaupun tidak semua pesan gue balas. Gue yakin dia paham, karena dia juga pernah merasakan apa yang gue rasakan, di didik di lembah pendidikan, walaupun dalam waktu yang gak selama gue. Yaps, dia adalah Polisi Wanita.

Di dalam masa ini, gue semakin ngerasa gue gak cocok sama dia. Pesan dia lama-kelamaan gue balas sekedarnya, bahkan kadang sama sekali gak gue bales. Gue mau ngasih sinyal ke dia kalo kita emang gak cocok, dan jangan intens lagi dalam ngehubungin gue. Tetapi dia tetap ngehubungi gue.

Sampai akhirnya 4 bulan itu berlalu, gue kembali dapat cuti. Gue sempet bilang ke dia kalo gue cuti di pertengahan bulan desember, tetapi gue gak ngasih tahu dia kapan tepatnya. Hari cuti yang gue tunggu-tunggu datang, gue sudah memesan tiket pesawat jauh-jauh hari. Bandara Pontianak sampai Semarang memerlukan waktu empat jam, karena transit dulu di Jakarta. Pukul tujuh malam tepat gue sampai Semarang, gue segera mencari keluarga gue di bandara. Papa dan adik gue, berdiri bersama penunggu penumpang lain, gue bingung kemana mama gue, gue tanya ke adik gue, “Mama, kemana?” adik gue ngejawab, “duduk di kursi tunggu.” Gak biasanya mama seperti ini. Mama biasanya nunggu gue di bandara sambil berdiri. Mama orang paling exited ketika anaknya pulang. Dan hal yang gak gue duga terjadi, ternyata dia lagi sama Mama. Gue cukup kaget waktu itu. Gue tipe orang yang gak akan ngenalin cewek ke orang tua, kalo gue emang belum sreg sama cewek itu. Bukan surprise yang gue dapat, malah gue rada gimana sama dia. Aneh aja, nekat banget dia nunggu gue di bandara ngobrol lagi sama orang tua gue, padahal kita belum ada hubungan apa-apa.

Ternyata dia tahu, kalo gue pulang dari adik gue, dia nyari Line dan ngehubungi adik gue tanpa sepengetahuan gue. Waktu ngobrol sama mama gue juga, dia cerita kalo dia masih sering chatting sama gue, padahal udah jarang sekali. Gue udah sama sekali gak ada feel buat dia. Gue yakin dia bukan orang yang cocok buat gue. Dan setelah kejadian itu sama sekali gue gak ngebales chat dari dia. Gue memutuskan untuk kembali mengalir dalam urusan asmara. Cielah.




Gak kerasa sekarang gue udah semester 6. Perasaan, baru kemaren gue lepas dari seragam SMA. Gak ada lagi kamus galau tentang cinta di hidup gue, gue membiarkan hidup gue mengalir menemukan jalannya, dengan memperbaiki diri gue dari hari ke hari. Karena gue yakin, semakin baik derajat gue, semakin baik juga jodoh yang akan gue temukan.

Gue ngerasa, secara alami, diri gue lebih selektif dalam memilih pasangan. Gue gak mau asal dalam memilih pasangan. Karena bagi gue sekarang, pasangan udah bukan lagi sekedar lagi teman berbagi canda tawa. Gue udah beberapa kali deket sama cewek, akan tetapi gue akhirnya enggan untuk melanjutkannya ke jenjang selanjutnya. Karena gue merasa gak akan cocok ke depannya.





Di usia 20 tahun ini, gue sadar bahwa cinta saja tidak cukup untuk membuat sebuah hubungan berhasil. Ada banyak faktor lain yang ikut andil. Seperti; pekerjaan, jarak, pola pikir, dan yang terpenting adalah restu keluarga. Di usia ini harus lebih rasional dalam segala hal. Hubungan yang serius bukan cuma tentang mencari persamaan, tapi lebih tentang menyatukan perbedaan.

Gue harus sadar diri, gue sekolah dimana kelak ketika gue lulus dan bekerja, gue akan disebar ke daerah seluruh Indonesia yang gak bisa gue tentuin. Gue harus sadar diri juga, gue harus mencari pasangan yang gak cuma sayang ke gue, tapi juga sayang ke keluarga gue. Gue harus sadar diri juga, gue harus nyari pasangan yang kuat long distance relationship, gue gak akan tahu, kapan gue dipindah tugaskan dari satu tempat ke tempat lain.

Mencari pasangan untuk saat ini, gak se-simple dulu. Cukup, dia bisa menemani gue dikala sepi, itu udah cukup. Dulu.

Untuk saat ini. Gue mencari sosok dia, yang sama-sama berpandangan ke depan. Gak ada lagi itu kata, “yaudah, jalanin dulu aja,” semua itu harus berganti “oke deh, semoga baik buat kita ke depan yah.”



Tetapi gue punya keinginan. Ketika gue wisuda dan pelantikan nanti, gue udah punya pasangan. Hahaha.




Gue tahu, pendamping wisuda belum tentu jadi pendamping hidup. Tetapi diri gue menyakini, cewek yang nanti mendampingi gue wisuda, adalah dia yang menemani gue di masa depan. Ciyaaa.







Dan (dia) yang entah siapa, dapat merasakan kebahagiaan yang gue rasakan. Dilantik Bapak Presiden.




Yup, karena wisuda gue masih pertengahan tahun 2018 nanti. Semoga gue dapat ditemukan dengan seseorang yang tepat di waktu yang tepat. Asik.




“Jodoh punya caranya sendiri untuk menemukan kita pada akhirnya. Meskipun dengan cara yang tidak dapat kita duga.”

Jumat, 06 Mei 2016

Hidup adalah Tanda Tanya


“Seperih apa pun cerita kehidupan yang kau alami, mau tidak mau kau harus tetap berjalan melewatinya.”





Haloo.. udah lama kali gak nyambangin Blog ini. Rasanya ada hal yang sangat aneh waktu nulis lagi. Ada rasa kaku, layaknya seorang jomblo akut yang baru saja deketin cewek setelah sekian lama. 


Dulu, gue kalo nulis suasananya harus tenang.. di café nongkrong sendirian sampe larut malam, seringkali gue lakuin. Gue juga sering nulis di kamar kost-an penuh kenangan waktu SMA dulu kalau udah bener-bener full beban pikiran. Jaman SMA gue orangnya baperan. Kalo udah galau, pasti larinya ke laptop buat ngetik apapun, masih banyak sebenernya folder tulisan yang ada di laptop gue yang gak gue posting, karena sering juga gue nulis tapi berhenti di tengah jalan, terus waktu mau ngelanjutin nulis, suasana hati gue udah gak sama dengan tulisan yang gue tulis, jadi males ngelanjutin. Hampir 80 persen tulisan gue waktu SMA dulu tentang percintaan, dan kocaknya ternyata gue ketika SMA pacaran cuma sekali, tapi tulisan gue tentang cinta mungkin udah bisa dibuat novel setebel novel Harry Potter. 

Ada banyak kesimpulan yang gue dapet dari perjalanan hidup gue ini:

gue dulu orangnya labil,
gue dulu terlalu melankolis,
gue emang doyan nulis,
dan mungkin.. gue orangnya setia. Tsah. Gue bukan tipe cowok yang pernah ada rasa ingin mendua ataupun mengakhiri sebuah hubungan ketika ada pertengkaran dalam sebuah hubungan. Jika memang hubungan itu akhirnya berakhir, pasti dari doi yang memutuskan. Bagi gue mengakhiri sebuah hubungan sama saja menidakpedulikan semua suka duka yang dulu pernah dilakukan bersama. Cowok Capricorn mah emang gini..


Dan mungkin gue dulu emang terlalu melankolis, nonton siaran NatGeo Wild aja gue sering nangis.



Perjalanan hidup emang gak bisa ditebak. Kita mungkin bisa merencanakan, tapi kenyataan terkadang tidak sesuai dengan harapan. Banyak orang jatuh karena hal ini. Gak munafik, termasuk gue. Di dalam perjalanan hidup gue yang sudah bisa dianggap sebagai anak dewasa ini, gue termasuk orang yang beruntung. Tuhan selalu memberi apapun yang ingin gue inginkan. Tapi terkadang gue kurang bersyukur, gue sering membandingkan diri gue dengan orang lain. Gue hanya melihat ke atas, tanpa melihat ke bawah. Hal ini yang sering membuat gue jatuh. 


“Jangan terlalu banyak memberikan dirimu waktu serta ruang untuk berdebat dengan batin. Nanti hidupmu lelah.”


Hidup ini bukan perlombaan. Namun, beberapa hal memang harus kita menangkan. Agar jelas kemana arah kaki dilangkahkan. Gue mungkin termasuk anak muda yang mempunyai cita-cita yang tinggi.


Tapi sadar gak? Semakin tua, semakin menyusut cita-cita kita. Misalnya, waktu kecil ditanya, “besok kalo gede mau jadi apa?” lalu kita menjawab “mau jadi Presiden,” lambat laun, jawaban itu berubah walaupun belum mengalami perbubahan jawaban yang signifikan, “besok kalo gede mau jadi apa?” lalu kita menjawab, “mau jadi pilot kalo gak pak polisi,” waktu terus berjalan. Jawaban semakin jauh dari cita-cita masa kecil, “besok mau jadi apa?” dan kita menjawab dengan kenyataan yang ada, “yang penting dapet kerja yang jelas, sekarang jadi pegawai aja saingannya jutaan orang”.

Tidak ada yang salah dari orang yang berharap. Tapi sudah siapkah kalo harapan itu tinggal sebuah harapan?

Dalam tahapan hidup. Mungkin gue merasakan gagal yang amat terasa, baru sekali.



Gue gagal masuk Akademi Kepolisian.


Waktu itu gue sangat kecewa sama diri gue sendiri. Kenapa gue dulu gak belajar serius waktu SMA. kenapa gue terlalu santai menjalani kehidupan waktu SMA. kenapa gue gak mempersiapkan diri buat harapan gue. Penyesalan waktu itu menggerus pikiran gue.


Dari sini gue mulai paham. Kegagalan dalam dunia percintaan, tidak ada apa-apanya dengan kegagalan dalam kehidupan.

Sangat jauh.

Bagi gue, cinta adalah bumbu dari sebuah kehidupan. Sebuah masakan tanpa bumbu akan terasa hampa, akan tetapi makanan itu tetap bisa dimakan. Begitu pula dengan hidup. Hidup tanpa cinta memang akan terasa hampa. Tapi tanpa cinta hidup tetap bisa berjalan.



Mungkin, ini alasan gue juga. Mengapa gue selalu lama memiliki seorang pasangan setelah gue berpisah dengan pasangan gue yang dulu. Gue bukan tipe orang yang terburu-buru mencari cinta baru. Gue bukan tipe orang yang takut akan kesendirian. Entah mengapa, gue lebih suka memantaskan diri terlebih dahulu. Gue pengin sosok pasangan gue kelak, bangga dengan gue. Gue juga bukan tipe cowok yang suka berpikiran, “coba kalo aku gak gini, apa kamu mau sama aku?” atau “coba kalo aku belum kayak gini, apa kamu mau sama aku?” bagi gue, apabila keberhasilan gue adalah sebuah nilai plus dimata cewek, gue malah akan lebih bangga dengan hal itu. Toh, keberhasilan lelaki, kelak juga untuk wanitanya..


Kembali.



Sekarang gue hampir menginjak kepala 2. Tak disadari juga, kekecewaan gue terhadap diri sendiri, sudah mulai hilang. Gue sekarang sekolah di sekolah yang mungkin bisa menggiring gue ke dalam cita-cita gue. Menjadi seorang pemimpin di sebuah daerah.


“Ada jalan yang lurus dan begitu mulus. Ada juga yang berliku dan penuh lubang. Semakin keras usahamu sampai pada tujuan akhir, Tuhan akan semakin tak tega membiarkanmu berakhir pada keterpurukan.”




Yaps, gue sekolah di Institut Pemerintahan Dalam Negeri atau sering dikenal IPDN. Sekarang gue udah tingkat 2. Sebentar lagi udah mau naik tingkat 3. Tidak terasa. Sebentar lagi gue merasakan yang namanya dunia kerja, dunia yang sama sekali belum gue pikirkan. Tapi mau apalagi, hidup terus berjalan, broh.




Yang dulunya gue selalu berpakaian apa adanya. Sekarang kerapihan dan performance adalah yang paling utama.


Berat memang awalnya, menjalani kehidupan di asrama. Rasa rindu ingin bebas selalu ada ketika kehilangan motivasi dalam masa pendidikan. Yakinlah, susah sekarang adalah bahagiamu kelak.


“Karena hidupku hanya sekali, keinginan terbesarku adalah bisa membahagiakan kedua orang tuaku berkali - kali.”


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...